MAKALAH
BIOLOGI MOLEKULER DAN IMUNOLOGI
MEKANISME REAKSI SISTEM IMUN TERHADAP ALZHEIMER
MEKANISME REAKSI SISTEM IMUN TERHADAP ALZHEIMER
Disusun Oleh :
Cory An Nisa (1300023154)
Cory An Nisa (1300023154)
Nurul Husnawati R. (1300023155)
Damai Ira Saraswati (1300023157)
Nita Prastiwi (1300023158)
Tirta Islami A. (1300023159)
Damai Ira Saraswati (1300023157)
Nita Prastiwi (1300023158)
Tirta Islami A. (1300023159)
FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2014
ABSTRAK
Alzheimer disease adalah penyebab tersering dari demensia,
mengenai lebih dari 26 juta orang di seluruh dunia. Hal ini biasanya
dimulai pada umur > 65 tahun yang secara bertahap akan mengalami
perkembangan dari kelalaian, diikuti dengan masalah kongnitif lainnya, seperti
melalukan kalkulasi, orientasi visuospasial dan bahasa. Biasanya tidak ada
tanda klinis khusus dari demensia, MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
menunjukkan hasil tidak spesifik, yaitu atrofi dan dilatasi ventrikular. Inflamasi
dan mekanisme imun memiliki peranan pada proses degeneratif pada
Alzheimer Disease. Beberapa penelitian menegaskan bahwa peranan dari sistem imun terhadap perkembangan Alzheimer Disease (AD). Terdapat
hubungan antara level serum antibodi peptide anti Amyloid-β dan penurunan
fungsi kongnitif dengan MCI (Mild Congnitive Impairment) atau dengan AD (Alzheimer Disease).
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penyakit Alzheimer adalah proses degenerative yang terjadi pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar dari lobusfrontalis, temporal dan oksipitalis, yang mengirim informasi ke korteks serebral dan hipokampus. Sel yang terpengaruh pertama kali kehilangan kemampuannya untuk mengeluarkan asetilkolin, lalu terjadi degenerasi. Jika degenerasi ini mulai berlangsung, tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali sel-sel itu atau menggantikannya. Penyebabnya sering kali tidak diketahui meskipun beberapa riset sedang dan telah dilakukan dalam beberapa area seperti genetic, virus-virus lambat dan faKtor lingkungan.
Penyakit Alzheimer adalah proses degenerative yang terjadi pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar dari lobusfrontalis, temporal dan oksipitalis, yang mengirim informasi ke korteks serebral dan hipokampus. Sel yang terpengaruh pertama kali kehilangan kemampuannya untuk mengeluarkan asetilkolin, lalu terjadi degenerasi. Jika degenerasi ini mulai berlangsung, tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali sel-sel itu atau menggantikannya. Penyebabnya sering kali tidak diketahui meskipun beberapa riset sedang dan telah dilakukan dalam beberapa area seperti genetic, virus-virus lambat dan faKtor lingkungan.
Penemuan
terakhir pasien dengan Alzheimer adalah adanya penurunan kadar neurotransmitter
asetilkolin pada korteks serebri, hipokampus. Hipokampus barada pada lobus
temporal yang berperan dalam proses memori.
Sampai sekarang penyebab Alzheimer masih belum diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan :
Sampai sekarang penyebab Alzheimer masih belum diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan :
1) Virus
lambat
Virus ini mempunyai masa inkubasi 2-30 tahun yang mengakibatkan perubahan patologik menyerupai plak senilis.
2) Proses otoimun
Virus ini mempunyai masa inkubasi 2-30 tahun yang mengakibatkan perubahan patologik menyerupai plak senilis.
2) Proses otoimun
Adanya
peningkatan reaksi antigen-antibody reaktif terhadap otak membentuk amigdaloid
(kompleks protein ) pada ekstraseluler.
3) Keracunan aluminium
3) Keracunan aluminium
Adanya
deposit aluminium pada pasien Alzheimer menyebabkan perubahan patologik, dimana
aluminium bersifat neurotoksik. Aluminium tardapat pada obat antacid
4) Faktor genetik
4) Faktor genetik
Diduga
berkaitan dengan kelainan kromosom 21 ( sindrom down ).
5) Faktor resiko usia
5) Faktor resiko usia
Kecenderungan
makin bertambah usia makin beresiko terjadinya Alzheimer.
6) Trauma kepala.
7) Adanya perubahan peran asetilkolin dan amyloid.
6) Trauma kepala.
7) Adanya perubahan peran asetilkolin dan amyloid.
Simtoma Alzheimer ditandai dengan
perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif
pada sejumlah sistem neurotransmiter, termasuk
perubahan fungsi pada sistem neural monoaminergik yang melepaskan asam glutamat, noradrenalin, serotonin dan
serangkaian sistem yang dikendalikan oleh neurotransmiter. Perubahan degeneratif juga terjadi pada beberapa area otak seperti lobus temporal dan lobus parietal, dan beberapa
bagian di dalam korteks frontal dan girus singulat, menyusul dengan hilangnya sel saraf dan sinapsis.
B. Tujuan
Adapun
tujuan makalah ini untuk mengetahui imunoterapi dari penyakit Alzheimer.
C. Manfaat
Sebagai informasi dan menambah wawasan atau pengetahuan mengenai pengertian Alzheimer dan imunoterapi pada penyakit Alzheimer.
C.
ISI
Patofisiologi
Patologi anatomi dari Penyakit Alzheimer meliputi dijumpainya Neurofibrillary Tangles (NFTs), plak senilis dan atropi serebrokorteks yang sebagian besar mengenai daerah asosiasi korteks khususnya pada aspek medial dari lobus temporal.Meskipun adanya NFTs dan plak senilis merupakan karakteristik dari Alzheimer, mereka bukanlah suatu patognomonik. Selain NFTs dan plak senilis, juga masih terdapat lesi lain yang dapat dijumpai pada Alzheimer yang diduga berperan dalam gangguan kognitif dan memori, meliputi :
Patologi anatomi dari Penyakit Alzheimer meliputi dijumpainya Neurofibrillary Tangles (NFTs), plak senilis dan atropi serebrokorteks yang sebagian besar mengenai daerah asosiasi korteks khususnya pada aspek medial dari lobus temporal.Meskipun adanya NFTs dan plak senilis merupakan karakteristik dari Alzheimer, mereka bukanlah suatu patognomonik. Selain NFTs dan plak senilis, juga masih terdapat lesi lain yang dapat dijumpai pada Alzheimer yang diduga berperan dalam gangguan kognitif dan memori, meliputi :
(1) Degenerasi granulovakuolar Shimkowich
(2) Benang-benang neuropil Braak , serta
(3) Degenerasi neuronal dan sinaptik.
Berdasarkan formulasi di atas, tampak bahwa mekanisme patofisiologis yang mendasari penyakit Alzheimer adalah terputusnya hubungan antar bagian-bagian korteks akibat hilangnya neuron pyramidal berukuran medium yang berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian tersebut, dan digantikan oleh lesi-lesi degeneratif yang bersifat toksik terhadap sel-sel neuron terutrama pada daerah hipokampus, korteks dan ganglia basalis. Hilangnya neuron-neuron yang bersifat kolinergik tersebut, meneyebabkan menurunnya kadar neurotransmitter asetilkolin di otak. Otak menjadi atropi dengan sulkus yang melebar dan terdapat peluasan ventrikel-ventrikel serebral.
Simtoma Alzheimer ditandai dengan perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif pada sejumlah sistem neurotransmiter, termasuk perubahan fungsi pada sistem neural monoaminergik yang melepaskan asam glutamat, noradrenalin, serotonin dan serangkaian sistem yang dikendalikan oleh neurotransmiter. Perubahan degeneratif juga terjadi pada beberapa area otak seperti lobus temporal dan lobus parietal, dan beberapa bagian di dalam korteks frontal dan girussingulat, menyusul dengan hilangnya sel saraf dan sinapsis.
Sekretase-β dan presenilin-1 merupakan enzim yang berfungsi untuk mengiris domain terminus-C pada molekul AAP dan melepaskan enzim kinesin dari gugus tersebut. Apoptosis terjadi pada sel saraf yang tertutup plak amiloid yang masih mengandung molekul terminus-C, dan tidak terjadi jika molekul tersebut telah teriris. Hal ini disimpulkan oleh tim dari Howard Hughes Institute yang dipimpin oleh Lawrence S. B. Goldstein, bahwa terminus-C membawa sinyal apoptosis bagi neuron. Sinyal apoptosis juga diekspresikan oleh proNGF yang tidak teriris, saat terikat pada pencerap neurotrofin p75NTR dan distimulasi hormon sortilin. Penumpukan plak ditengarai karena induksi apolipoprotein-E yang bertindak sebagai protein kaperon, defiensi vitamin B1 yang mengendalikan metabolisme glukosa serebral seperti O-GlkNAsilasi, dan kurangnya enzim yang terbentuk dari senyawa tiamina seperti kompleks ketoglutarat dehidrogenase-alfa, kompleks piruvat dehidrogenase, transketolase, O-GlcNAc transferase, protein fosfatase 2A, dan beta-N-asetilglukosaminidase. Hal ini berakibat pada peningkatan tekanan zalir serebrospinal, menurunnya rasio hormon CRH, dan terpicunya simtoma hipoglisemia di dalam otak walaupun tubuh mengalami hiperglisemia.
Selain disfungsi enzim presenilin-1 yang memicu simtoma ataksia, masih terdapat enzim Cdk5 dan GSK3beta yang menyebabkan hiperfosforilasi protein tau hingga terbentuk tumpukan PHF. Hiperfosforilasi juga menjadi penghalang terbentuknya ligasi antara protein S100beta dan tau, dan menyebabkan distrofi neurita meskipun kelainan metabolisme seng juga dapat menghalangi ligasi ini.
Simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia juga menginduksi hiperfosforilasi protein tau, dan oligomerasi amiloid-beta yang berakibat pada penumpukan plak amiloid. Namun, meski insulin menginduksi oligomerasi amiloid-beta, insulin juga menghambat enzim aktivitas enzim kaspase-9 dan kaspase-3 yang juga membawa sinyal apoptosis, dan menstimulasi sekresi Hsp70 oleh sel LAN5 untuk mengaktivasi program pertahanan sel.
(2) Benang-benang neuropil Braak , serta
(3) Degenerasi neuronal dan sinaptik.
Berdasarkan formulasi di atas, tampak bahwa mekanisme patofisiologis yang mendasari penyakit Alzheimer adalah terputusnya hubungan antar bagian-bagian korteks akibat hilangnya neuron pyramidal berukuran medium yang berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian tersebut, dan digantikan oleh lesi-lesi degeneratif yang bersifat toksik terhadap sel-sel neuron terutrama pada daerah hipokampus, korteks dan ganglia basalis. Hilangnya neuron-neuron yang bersifat kolinergik tersebut, meneyebabkan menurunnya kadar neurotransmitter asetilkolin di otak. Otak menjadi atropi dengan sulkus yang melebar dan terdapat peluasan ventrikel-ventrikel serebral.
Simtoma Alzheimer ditandai dengan perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif pada sejumlah sistem neurotransmiter, termasuk perubahan fungsi pada sistem neural monoaminergik yang melepaskan asam glutamat, noradrenalin, serotonin dan serangkaian sistem yang dikendalikan oleh neurotransmiter. Perubahan degeneratif juga terjadi pada beberapa area otak seperti lobus temporal dan lobus parietal, dan beberapa bagian di dalam korteks frontal dan girussingulat, menyusul dengan hilangnya sel saraf dan sinapsis.
Sekretase-β dan presenilin-1 merupakan enzim yang berfungsi untuk mengiris domain terminus-C pada molekul AAP dan melepaskan enzim kinesin dari gugus tersebut. Apoptosis terjadi pada sel saraf yang tertutup plak amiloid yang masih mengandung molekul terminus-C, dan tidak terjadi jika molekul tersebut telah teriris. Hal ini disimpulkan oleh tim dari Howard Hughes Institute yang dipimpin oleh Lawrence S. B. Goldstein, bahwa terminus-C membawa sinyal apoptosis bagi neuron. Sinyal apoptosis juga diekspresikan oleh proNGF yang tidak teriris, saat terikat pada pencerap neurotrofin p75NTR dan distimulasi hormon sortilin. Penumpukan plak ditengarai karena induksi apolipoprotein-E yang bertindak sebagai protein kaperon, defiensi vitamin B1 yang mengendalikan metabolisme glukosa serebral seperti O-GlkNAsilasi, dan kurangnya enzim yang terbentuk dari senyawa tiamina seperti kompleks ketoglutarat dehidrogenase-alfa, kompleks piruvat dehidrogenase, transketolase, O-GlcNAc transferase, protein fosfatase 2A, dan beta-N-asetilglukosaminidase. Hal ini berakibat pada peningkatan tekanan zalir serebrospinal, menurunnya rasio hormon CRH, dan terpicunya simtoma hipoglisemia di dalam otak walaupun tubuh mengalami hiperglisemia.
Selain disfungsi enzim presenilin-1 yang memicu simtoma ataksia, masih terdapat enzim Cdk5 dan GSK3beta yang menyebabkan hiperfosforilasi protein tau hingga terbentuk tumpukan PHF. Hiperfosforilasi juga menjadi penghalang terbentuknya ligasi antara protein S100beta dan tau, dan menyebabkan distrofi neurita meskipun kelainan metabolisme seng juga dapat menghalangi ligasi ini.
Simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia juga menginduksi hiperfosforilasi protein tau, dan oligomerasi amiloid-beta yang berakibat pada penumpukan plak amiloid. Namun, meski insulin menginduksi oligomerasi amiloid-beta, insulin juga menghambat enzim aktivitas enzim kaspase-9 dan kaspase-3 yang juga membawa sinyal apoptosis, dan menstimulasi sekresi Hsp70 oleh sel LAN5 untuk mengaktivasi program pertahanan sel.
Gejala Alzheimer
Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun):
Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari. Diorintasi: tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik. Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin. Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung, mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidak setia lagi.
b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi. Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi. Mengalami gangguan tidur. Kesulitan mengenali keluarga dan teman.
c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)
Sulit atau kehilangan kemampuan berbicara. Kehilangan napsu makan. Menurunya berat badan. Sangat tergantung pada pengasuh. Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk.
Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun):
Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari. Diorintasi: tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik. Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin. Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung, mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidak setia lagi.
b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi. Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi. Mengalami gangguan tidur. Kesulitan mengenali keluarga dan teman.
c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)
Sulit atau kehilangan kemampuan berbicara. Kehilangan napsu makan. Menurunya berat badan. Sangat tergantung pada pengasuh. Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk.
Penatalaksanaan Medis
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti
menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer, dimana
penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah
penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja
secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian
obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian
berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan antikolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada
organ normal dan penderita Alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral, menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral, menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan
dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang.
Tetapi pemberian 4000mg pada penderita Alzheimer tidak menunjukan perbaikan
klinis yang bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer
dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin
(catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2 reseptor agonis dengan dosis
maksimal 1,2 mg peroral selama 4 mgg, didapatkan hasil yang kurang memuaskan
untuk memperbaiki fungsi kognitif.
5. Haloperiodol
Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan
psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5
mg/hari selama 4 mgg akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer
menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depressant
(aminitryptiline 25-100 mg/hari).
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
Pengobatan Penyakit Alzheimer
Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
Pengobatan Penyakit Alzheimer
Dengan
ditemukannya kinom pada manusia, kinase protein telah menjadi prioritas
terpenting kedua pada upaya penyembuhan, oleh karena dapat dimodulasi oleh molekul ligan kecil. Peran kinase pada lintasan molekular neuron terus
dipelajari, namun beberapa lintasan utama telah ditemukan. Sebuah protein
kinase, CK1 dan CK2, ditemukan memiliki peran yang selama ini belum
diketahui, pada patologi molekular dari beberapa kelainan neurogeneratif,
seperti Alzheimer.
· Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Tersedia dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Dokter Anda akan memberikan dosis rendah pada awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu.
Efek samping: sakit kepala, nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekuensi buang air kecil.
· Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Setelah enam bulan pengobatan dengan Rivastigmine, 25-30% penderita dinilai membaik pada tes memori, pengertian dan aktivitas harian dibandingkan pada pasien yang diberikan plasebo hanya 10-20%. Biasanya diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu. Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari.
Efek samping: mual dan muntah, sebaiknya minum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang sama atau lebih rendah.
Sekitar setengah pasien yang minum Rivastigmine menjadi mual dan sepertiganya mengalami muntah minimal sekali, seringkali terjadi pada pengobatan di beberapa minggu pertama pengobatan sewaktu dosis ditingkatkan. Antar seperlima hingga seperempat pasien mengalami penurunan berat badan sewaktu pengobatan dengan Rivastigmine (sekitar 7 hingga 10 poun).
· Memantine
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzhaimer taraf Sedang hingga berat dengan mekanisme keja yang berbeda dan unik dengan memperbaiki proses sinyal Glutamat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5 mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal 20 mg/hari.
Kesimpulan
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas. Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Gejala Alzheimer, dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun), Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun), Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun).
· Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Tersedia dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Dokter Anda akan memberikan dosis rendah pada awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu.
Efek samping: sakit kepala, nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekuensi buang air kecil.
· Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Setelah enam bulan pengobatan dengan Rivastigmine, 25-30% penderita dinilai membaik pada tes memori, pengertian dan aktivitas harian dibandingkan pada pasien yang diberikan plasebo hanya 10-20%. Biasanya diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu. Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari.
Efek samping: mual dan muntah, sebaiknya minum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang sama atau lebih rendah.
Sekitar setengah pasien yang minum Rivastigmine menjadi mual dan sepertiganya mengalami muntah minimal sekali, seringkali terjadi pada pengobatan di beberapa minggu pertama pengobatan sewaktu dosis ditingkatkan. Antar seperlima hingga seperempat pasien mengalami penurunan berat badan sewaktu pengobatan dengan Rivastigmine (sekitar 7 hingga 10 poun).
· Memantine
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzhaimer taraf Sedang hingga berat dengan mekanisme keja yang berbeda dan unik dengan memperbaiki proses sinyal Glutamat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5 mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal 20 mg/hari.
Kesimpulan
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas. Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Gejala Alzheimer, dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun), Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun), Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun).
DAFTAR PUSTAKA
"Neuroinflammation
in Alzheimer's disease: protector or promoter?".Institute of Neuroimmunology, Slovak Academy of Sciences; Zilka N, Ferencik M, Hulin
I.
Diakses 2014-12-12
"Defective Cell Transport Suggested in Alzheimer's Disease". Howard Hughes
Medical Institute; Lawrence
S. B. Goldstein. Diakses 2014-12-12
"Preservation
of cortical sortilin protein levels in MCI and Alzheimer's disease". Department of Gu F, Chen J, Sun X, Zhao L, Yu M,
Xu Z, Dong W, Qin Y, Fei G, Zhong C, Xu TL. Diakses 2014-12-12
Doenges. E. Marylin Dkk.
2008. Rencana Asuhan
Keperawatan.Edisi 3. EGC : Jakarta
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi.
Jakarta : EGC
test
BalasHapus