AKHIR KESEPIAN
Bruuk. . . . .
Terdengar suara ricuh
dari dalam rumah. Ya Tuhan. . .apa yang terjadi? Echa menghela napas panjang dan
menguatkan diri untuk masuk rumah.
“Ahh. . . benar kan
fikirku. Pasti mama dan papa bertengkar lagi. Mengapa mereka selalu begini?
Apakah mereka nggak mikirin perasaanku? Ya Tuhan. . . apa yang harus kulakukan?
Apakah aku harus lari dari kenyataan ini?”, pikir Echa dalam hati ketika Echa
melihat mama dan papanya bertengkar di ruang tamu.
“Stooop. . .sudah. .
.sudah. . .!” suara Echa dari luar. Echa tidak bisa menahan perasaannya lagi
sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ketika itu semua terdiam dan
melihat ke arah Echa. Echa tak kuat lagi menahan air matanya, kemudian ia berlari
menuju kamar. Setelah beberapa jam berdiam di kamar, Echa keluar untuk mencari
kedua orangtuanya itu.
“Ohh syukurlah, mama
dan papa sudah pergi, jadi tidak ada keributan lagi di rumah ini”, pikirnya.
* * *
Kriiing. . . .kriiing. . .kriiing. . .
Suara alarm berbunyi tepat di telinga kanannya. Ia
segera bergegas untuk mandi. Walaupun hari ini kepalanya kembali terasa pusing,
tapi Echa tetap memaksakan diri untuk berangkat sekolah. Setelah selesai mandi
dan berpakaian rapi, ia keluar dari kamarnya. Echa tak melihat seorangpun yang
menyambutnya pagi ini, hanya mbok Inah yang bertugas membersihkan rumah yang
menyambutnya di meja makan.
“Mbok, mama dan papa ke mana?”, tanya Echa kepada
mbok Inah.
“Emm. . . mama dan papamu semalem nggak pulang non”,
jawab mbok Inah.
“Hah? Nggak pulang? Berarti tidak ada yang nganter
aku dong pagi ini! Emm tapi nggak pa-palah setidaknya hari ini tak ada
kericuhan lagi seperti biasanya dan aku bisa berangkat sekolah dengan tenang”,
pikir Echa dalam hati.
Setelah sarapan, Echa segera berangkat sekolah naik
taksi. Sampai di sekolah ia melihat teman-temannya diantar oleh orangtuanya.
Sepertinya, Echa iri hati karena ia tak mendapat kasih sayang dari orangtuanya
seperti teman-temannya. Sejak kakaknya meninggal 1 tahun yang lalu, orang tua
Echa memang tak pernah akur, bahkan
mereka sering tidak pulang ke rumah dan Echa tidak tahu ke mana mereka pergi.
* * *
Saat bel istirahat berbunyi, Echa mengajak
sahabatnya, Rena ke kantin.
“Cha, kamu kok pucat sih? Pusingmu kambuh lagi ya?”,
tanya Rena.
“Emm nggak papa kok Ren!”, jawab Echa sambil
memegang kepala.
“Cha. . .!”
“Sepertinya aku kenal suara itu”, Echa berkata dalam
hati dan menoleh ke belakang.
Perasaan Echa ternyata benar, di belakangnya ada Ega,
seorang yang menjalin hubungan pacaran selama 1 tahun ini, ia salah satu orang
yang disayang Echa selain Rena, sahabatnya.
“Hai kak!”, Echa membalas sapaannya. Merekapun
berbincang-bincang.
* * *
Sepulang sekolah, Echa menunggu taksi di depan
sekolah. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada motor berhenti di depan Echa.
“Echa, kamu nunggu taksi ya?”, kata Ega.
“Iya kak”
“Sama aku aja yuk!”
“Ya udah deh, yuk!”
Echa dan Ega pun akhirnya pergi dari sekolah. Di
tengah perjalanan, tiba-tiba hp Egi berbunyi.
“Kak, hp kakak berbunyi tuh, angkat saja siapa tahu
penting”, kata Echa.
Egi menghentikan motornya dan menepi di pinggir
jalan. Kemudian dikeluarkan hpnya dari saku celana.
“Untuk apa dia menelponku?”, kata Ega berbisik.
“Kenapa kak?”, tanya Echa heran.
“Emm nggak pa-pa kok, nggak penting juga, lagian
bisa dihubungi lagi nanti”.
Merekapun melanjutkan perjalanannya.
“Echa, aku laper nih, gimana kalo kita mampir makan
ke restoran deket sini, kita kan dah lama nggak makan bareng?”, kata Ega.
“Aku juga laper nih kak, ya udah deh, kita mampir
aja”, jawab Echa.
Di restoran, mereka berdua memesan steak dan jus
lemond mint.
“Cha, wajahmu pucat banget, kamu pusing lagi ya?”,
tanya Ega sambil memandang wajah Echa.
“Enggak kok kak”, jawab Echa.
Sepertinya pusing yang dideritanya semenjak 9 bulan
yang lalu kambuh lagi. Tapi Echa berusaha menutupinya, karena ia tak mau
pacarnya itu khawatir dengan keadaannya.
“Bruuk. . .”
Tiba-tiba Echa jatuh dan tak sadarkan diri, karena
sudah tak kuat menahan rasa sakitnya. Ega pun panik melihat Echa tergeletak di
lantai, ia khawatir dengan keadaannya. Ia kemudian membawa Echa ke rumah sakit.
*
* *
Perlahan-lahan Echa membuka matanya.
“Aku di mana ini”, tanya Echa kepada dokter.
“Kamu ada di rumah sakit Echa, Ega yang nganter kamu
ke sini”.
“Emang aku sakit apa Dok?”, tanya Echa. Merekapun
berbincang-bincang.
Setelah beberapa saat di rumah sakit, Echa mengajak Ega
untuk pulang. Ia tidak mau dirawat di rumah sakit.
* * *
Sampai di rumah, mama dan papanya sudah menunggu
Echa di ruang tamu.
“Tidak biasanya mereka pulang cepat dan tidak ribut
lagi seperti biasanya. Ya Tuhan, terimakasih Engkau telah membukakan hati buat
mama dan papaku”, Echa berpikir mungkin mereka telah sadar dengan kesalahan
mereka masing-masing.
“Cha. . .!”, tiba-tiba mama memanggil dengan suara
lesu.
“Ada apa ma?”, Echa menjawab dengan penasaran.
“Sini sayang, mama ingin memberitahumu sesuatu.
Mungkin ini akan sulit bagimu, tapi mungkin inilah yang terbaik”, kata mama
Echa.
Echa pun mendekati mama dan papanya. Echa melihat
sepertinya ada sesuatu yang terjadi, tapi mudah-mudahan apa yang disampaikan
mama nanti adalah kabar gembira.
“Cha. . . mama dan papa hari ini telah resmi bercerai,
mama harap kamu mengerti”, kata mamanya.
“Iya Cha, papa harap kamu memahami apa yang terjadi,
kami akan selalu menyayangimu. Kamu berhak memilih ingin tinggal bersama
siapa”, kata papa Echa.
“Hah? Apa? Mama dan papa bercerai? Apa kalian tidak
tahu perasaan Echa?”, Echa sangat kecewa dengan keputusan mereka. Setelah Echa
melontarkan sedikit perasaannya, Echa berlari menuju kamarnya dengan berlinang
air mata. Ia menumpahkan kesedihannya dengan menangis di kamar.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Echa ingin
menceritakan apa yang terjadi kepada sahabatnya, Rena. Echa menghubungi Rena
berulang kali, tapi hpnya tidak aktif. Akhirnya Echa menelpon Ega, orang yang
juga sangat berarti dalam hidupnya selain Rena.
“Ya Tuhan. . . mengapa kak Ega juga tidak dapat
dihubungi? Apakah segala penderitaanku ini cukup kusimpan dalam hati saja?
Apakah tidak boleh satu orangpun yang tahu apa yang kurasakan? Mungkin ini yang
terbaik”, Echa berpikir dalam hatinya.
* * *
Akhirnya pagi datang kembali. Echa sangat lelah tadi
malam. Entah mengapa, padahal ia semalem tidak melakukan aktivitas apapun
selain meratapi nasibnya. Ia juga belum memutuskan mau tinggal bersama siapa.
Menurut Echa, hidup dengan mereka berdua sama saja, karena mereka berdua
sama-sama egois. Kalau boleh memilih, Echa lebih memilih untuk mencari
kehidupan lain yang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
Seperti biasa, Echa berangkat sekolah. Sampai di
kelas tak seperti biasanya, Echa tak melihat wajah sahabatnya itu, padahal
tasnya sudah berada di kelas. Pagi itu Echa ingin sekali ketemu Rena. Ia ingin
bercerita kepada Rena tentang apa yang terjadi. Tapi Echa juga tidak mau jika
sahabatnya ikut sedih, paling tidak jika Echa melihat Rena, kesedihannya
berkurang karena ia merasa masih ada orang yang peduli dan menyayanginya. Echa
bertanya kepada temannya mengenai keberadaan sahabatnya, tapi tak seorangpun teman
yang mengetahui keberadaan Rena. Kemudian Echa pergi ke luar kelas untuk
mencari Rena. Sampai di pojok sekolah dekat kantin, Echa melihat Rena bersama
seseorang yang sepertinya ia kenal. Sepertinya mereka berdua sangat mesra. Echa
mendekati mereka dengan penuh penasaran. Echa mendengar sedikit apa yang mereka
bicarakan.
“Ren, aku sayang banget sama kamu”,
Echa pun semakin penasaran dengan orang yang bersama
sahabatnya itu.
“Dia pacarnya Rena apa ya, kok Rena nggak bilang
kalo dia sudah punya pacar”, bisik Echa. Echa semakin mendekat, dan terdengar
jelas siapa laki-laki itu.
“Aku juga sayang banget sama kakak, tapi bagaimana
dengan Echa? Lebih baik kakak bilang ke dia tentang semua ini, daripada dia
berharap terus sama kakak”,
“Iya, kakak juga sudah berniat mutus dia, tinggal tunggu
waktu yang tepat aja”,
“Oh iya, nanti malam kakak bisa keluar ke tempat
kemarin nggak? Tempat itu bagus banget lho kak!”,
“Ya udah ntar malam kita ke sana lagi, OK?”, kata
laki-laki itu.
“Ya ampuun. . . ternyata laki-laki itu kak Ega”,
kata Echa dalam hati.
Hati Echa sangat kecewa mendengar pembicaraan
mereka. Pantas tadi malam mereka berdua nggak bisa dihubungi, ternyata mereka
sedang asyik pacaran. Echa tak menyangka, orang yang Echa percaya ternyata
mengkhianatinya. Orang yang selama ini Echa sayang ternyata menduakan dengan
sahabatnya sendiri. Lebih-lebih mereka berniat untuk menyingkirkan Echa.
“Ya Tuhan. . . berikan aku kekuatan untuk menghadapi
semua cobaan ini. Aku tidak tahu harus
mengadu dengan siapa lagi, hanya kepadamu Tuhan. Sahabat dan kelasihku tega meninggalkanku,
bahkan orangtuakupun tidak peduli dengan keadaanku. Mungkin aku memang
ditakdirkan untuk hidup sendiri”, Echa meratapi nasibnya.
* * *
Sepulang sekolah, Echa menyusuri tempat keramaian.
Terpikir dalam benaknya mengapa ia tak bisa merasakan apa yang mereka rasa,
mengapa ia merasa sepi padahal berada di dalam keramaian. Ia berpikir mungkin
dengan ia meninggalkan dunia ini segala kesepian yang dirasakan akan berakhir
dan pasti tidak ada
seorangpun yang akan menangisi kepergiannya.
“Ya, aku harus pergi dari dunia ini, mungkin ini
yang terbaik karena tak ada lagi orang yang peduli denganku, lagian kata dokter
kemarin, umurku kan tinggal menghitung hari? buat apa aku hidup? Iya di situ”,
Echa menunjuk sungai yang berada di depannya. “Mungkin di sungai itu aku dapat
mengakhiri kesepianku”. Lalu Echa berjalan mendekati sungai yang cukup besar
itu. Ia menaiki pembatas sungai lalu ingin melompat. Tapi tiba-tiba ia sadar,
apa yang ia lakukan itu salah, apa yang ia lakukan itu tidak akan menyelesaikan
masalah. Echa pun turun dari pembatas sungai dan berjalan menuju rumah sambil
menagis. Saat ia menyeberang jalan, tiba-tiba ada truk lewat dengan kecepatan
tinggi dan akhirnya truk itu menabrak Echa hingga ia tak mampu menguasai dirinya.
Tubuh Echa lemah tak berdaya dan darahpun keluar seolah mata air yang keluar
dari sumbernya.
“Mama, papa, Rena, kak Ega, mungkin inilah jalan
takdirku. Maafkan Echa jika Echa pernah menyakiti kalian. Tapi Echa senang
karena Echa dipersilakan untuk pergi dari duna ini. Akhirnya Echa mencapai
garis akhir kehidupan yang selama ini Echa cari dengan penuh liku. Terimakasih
kalian sudah pernah membuat Echa tersenyum walau akhirnya semua itu hilang.
Allahu Akbar!”.
Setelah Echa mengucapkan kata terakhirnya, mata Echa
tertutup dan pergi meninggalkan dunia ini.
* * *
Setelah mendengar berita kalau Echa kecelakaan,
orangtua Echa segera ke Rumah Sakit Melati. Tak lupa orangtua Echa mengabari
Rena dan Ega. Sesampainya di rumah
sakit, Rena dan Ega melihat kedua orangtua Echa menangisi satu tubuh yang
tertutupi kain putih bersih. Mereka langsung menuju ruangan itu.
“Tante, ini siapa?”, tanya Rena dengan rasa takut.
“Rena. . . “, kata mama Echa sambil memeluknya dalam
keadaan menangis.
“Tan, ini bukan Echa kan?”, tanya Ega dengan wajah
pucat.
Orang tua Echa tak berkata apapun. Dia hanya
menangis dan terus menangis. Dengan rasa penasaran Ega membuka kain putih yang
menutupi tubuh itu.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. . .”, kata Ega
sambil memejamkan mata menahan air matanya membasahi wajah pucat itu.
“Ga, ini bukan Echa kan?”, tanya Rena sambil
meneteskan air matanya.
Ega hanya diam sambil menahan kesedihannya.
Setelah dimandikan dan dikafani, jenazah Echa
langsung dibawa ke rumah duka untuk disholatkan. Semua teman sekolah Echa
datang untuk melayat. Pada saat semua teman berkumpul untuk mendoakan Echa,
Rena dan Ega tidak ada. Mereka malah berada di taman dan sepertinya mereka
sedang membicarakan suatu hal.
“Kak, aku merasa bersalah dengan Echa. Sampai akhir
hidupnya , aku sama sekali belum membuatnya bahagia, malah aku berniat untuk
mengambil kamu dari dia”.
“Aku juga merasa bersalah kepadanya, aku menyesal dengan
apa yang aku lakukan. Kita membohonginya, kita menyakitinya”.
“Rena, Ega, ada yang mau mbok kasih tau ke kalian”,
tiba-tiba mbok Inah datang dan mengajak mereka masuk.
“Apa itu mbok?”, tanya Rena.
“Barangnya ada di sana, ayo ikut mbok ke kamar
Echa”.
Rena semakin bersalah melihat foto-fotonya bersama
Echa yang terpajang rapi. Mbok Inah menunjuk satu buku yang cantik di atas
buffet.
“Lhoh itu kan buku diary Echa mbok?”, tanya Rena.
“Iya, itu memang buku diary Echa. Ada yang mau mbok
kasih tau ke kalian, tapi. . . . mending kalian baca sendiri aja, mbok keluar
dulu.
Rena mulai membaca, lembar awal-awal foto-foto
bersama keluarganya, Rena, dan Ega. Lembar berikutnya berisi curahan hati Echa.
Rena semakin merasa bersalah setelah membaca buku itu dan tangisnya tak
tertahan sehingga dia menjatuhkan buku itu.
“Rena, kamu kenapa?”, tanya Ega heran.
“Kamu baca aja sendiri. . . “, kata Rena sambil
menangis.
25
April 2012
Diary.
. .
Aku
seneng banget hari ini, kamu tahu kenapa? Karena hari ini aku menemukan dua
kebahagiaan. Disaat aku bosan dengan keributan orangtuaku, aku menyadari kalau
aku masih punya orang-orang yang menyayangiku. Rena, dia adalah sahabatku, aku
sangat menyayanginya, dia selalu membantuku dalam keadaan apapun, dia selalu
membuatku bahagia. Aku sangat menyayanginya. Terimakasih ya Ren, kamu telah mau
jadi sahabatku.
Kak
Ega, dia adalah pangeranku. Dia sangat baik dan tidak pernah menyakitiku. Terimakasih ya kak, telah mau jadi bagian dari
hidupku.
Aku
benar-benar bersyukur memiliki mereka berdua.
5
Mei 2012
Diary.
. .
Hari
ini aku sedih! Ternyata selama ini aku menderita penyakit leukemia. Maaf ya ma,
pa, Ren, kak, aku harus bohong sama
kalian, aku nggak mau kalian ikut sedih.
Thanks
ya kak, kamu tadi telah mengantarkanku ke rumah sakit, mungkin kalau kakak
tidak mengantarkanku ke sana aku tidak akan tahu penyakitku selama ini. Walaupun
umurku nggak panjang lagi, tapi aku tetap akan menghadapinya kok. Aku sayang
kakak!
Ega kaget dan lemas membaca diary itu. Mereka tak
menyangka kalau Echa selama ini menderita leukemia. Rena juga semakin bersalah
karena telah mengkhianatinya. Padahal Echa sangat mempercayainya.
Sebentar lagi jenazah Echa akan dimakamkan. Orangtua
Echa sangat terpukul dengan semua ini. Sebelum jenazahnya dimakamkan, mamanya
berbicara sebentar kepada Echa.
“Cha, mama minta maaf yaa. Mama tahu kamu kecewa
dengan mama, selama ini kamu nggak pernah mama perhatiin, sampai-sampai mama
nggak tahu kalo kamu punya penyakit itu. Sekarang kamu akan menyusul kakakmu,
Jeni. Mama sangat menyesal Cha”, kata mamanya sambil menangis dan memeluk
keranda yang berisi jenazah Echa.
“Sudah ma. Jangan menangisi Echa. Semua ini sudah
terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Dia juga akan sedih jika kita terus
menangisinya, biarkan Echa pergi dengan tenang”, kata papa Echa.
Isak tangis teman-teman Echa mengiringi perjalanan
pemakaman Echa. Rena dan Ega turut dalam pemakaman Echa dan masih sangat merasa
bersalah. Saat Echa dimakamkan, tiba-tiba Rena tak sadarkan diri.
= The End =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar...