Rabu, 12 Februari 2014

Cerpen


AKHIR KESEPIAN

Bruuk. . . . .
Terdengar suara ricuh dari dalam rumah. Ya Tuhan. . .apa yang terjadi? Echa menghela napas panjang dan menguatkan diri untuk masuk rumah.
“Ahh. . . benar kan fikirku. Pasti mama dan papa bertengkar lagi. Mengapa mereka selalu begini? Apakah mereka nggak mikirin perasaanku? Ya Tuhan. . . apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus lari dari kenyataan ini?”, pikir Echa dalam hati ketika Echa melihat mama dan papanya bertengkar di ruang tamu.
“Stooop. . .sudah. . .sudah. . .!” suara Echa dari luar. Echa tidak bisa menahan perasaannya lagi sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ketika itu semua terdiam dan melihat ke arah Echa. Echa tak kuat lagi menahan air matanya, kemudian ia berlari menuju kamar. Setelah beberapa jam berdiam di kamar, Echa keluar untuk mencari kedua orangtuanya itu.
“Ohh syukurlah, mama dan papa sudah pergi, jadi tidak ada keributan lagi di rumah ini”, pikirnya.
* * *
Kriiing. . . .kriiing. . .kriiing. . .
Suara alarm berbunyi tepat di telinga kanannya. Ia segera bergegas untuk mandi. Walaupun hari ini kepalanya kembali terasa pusing, tapi Echa tetap memaksakan diri untuk berangkat sekolah. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, ia keluar dari kamarnya. Echa tak melihat seorangpun yang menyambutnya pagi ini, hanya mbok Inah yang bertugas membersihkan rumah yang menyambutnya di meja makan.
“Mbok, mama dan papa ke mana?”, tanya Echa kepada mbok Inah.
“Emm. . . mama dan papamu semalem nggak pulang non”, jawab mbok Inah.
“Hah? Nggak pulang? Berarti tidak ada yang nganter aku dong pagi ini! Emm tapi nggak pa-palah setidaknya hari ini tak ada kericuhan lagi seperti biasanya dan aku bisa berangkat sekolah dengan tenang”, pikir Echa dalam hati.
Setelah sarapan, Echa segera berangkat sekolah naik taksi. Sampai di sekolah ia melihat teman-temannya diantar oleh orangtuanya. Sepertinya, Echa iri hati karena ia tak mendapat kasih sayang dari orangtuanya seperti teman-temannya. Sejak kakaknya meninggal 1 tahun yang lalu, orang tua Echa memang tak  pernah akur, bahkan mereka sering tidak pulang ke rumah dan Echa tidak tahu ke mana mereka pergi.
* * *
Saat bel istirahat berbunyi, Echa mengajak sahabatnya, Rena ke kantin.
“Cha, kamu kok pucat sih? Pusingmu kambuh lagi ya?”, tanya Rena.
“Emm nggak papa kok Ren!”, jawab Echa sambil memegang kepala.
“Cha. . .!”
“Sepertinya aku kenal suara itu”, Echa berkata dalam hati dan menoleh ke belakang.
Perasaan Echa ternyata benar, di belakangnya ada Ega, seorang yang menjalin hubungan pacaran selama 1 tahun ini, ia salah satu orang yang disayang Echa selain Rena, sahabatnya.
“Hai kak!”, Echa membalas sapaannya. Merekapun berbincang-bincang.
* * *
Sepulang sekolah, Echa menunggu taksi di depan sekolah. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ada motor berhenti di depan Echa.
“Echa, kamu nunggu taksi ya?”, kata Ega.
“Iya kak”
“Sama aku aja yuk!”
“Ya udah deh, yuk!”
Echa dan Ega pun akhirnya pergi dari sekolah. Di tengah perjalanan, tiba-tiba hp Egi berbunyi.
“Kak, hp kakak berbunyi tuh, angkat saja siapa tahu penting”, kata Echa.
Egi menghentikan motornya dan menepi di pinggir jalan. Kemudian dikeluarkan hpnya dari saku celana.
“Untuk apa dia menelponku?”, kata Ega berbisik.
“Kenapa kak?”, tanya Echa heran.
“Emm nggak pa-pa kok, nggak penting juga, lagian bisa dihubungi lagi nanti”.
Merekapun melanjutkan perjalanannya.
“Echa, aku laper nih, gimana kalo kita mampir makan ke restoran deket sini, kita kan dah lama nggak makan bareng?”, kata Ega.
“Aku juga laper nih kak, ya udah deh, kita mampir aja”, jawab Echa.   
Di restoran, mereka berdua memesan steak dan jus lemond mint.
“Cha, wajahmu pucat banget, kamu pusing lagi ya?”, tanya Ega sambil memandang wajah Echa.
“Enggak kok kak”, jawab Echa.
Sepertinya pusing yang dideritanya semenjak 9 bulan yang lalu kambuh lagi. Tapi Echa berusaha menutupinya, karena ia tak mau pacarnya itu khawatir dengan keadaannya.
“Bruuk. . .”
Tiba-tiba Echa jatuh dan tak sadarkan diri, karena sudah tak kuat menahan rasa sakitnya. Ega pun panik melihat Echa tergeletak di lantai, ia khawatir dengan keadaannya. Ia kemudian membawa Echa ke rumah sakit.
* * *
Perlahan-lahan Echa membuka matanya.
“Aku di mana ini”, tanya Echa kepada dokter.
“Kamu ada di rumah sakit Echa, Ega yang nganter kamu ke sini”.
“Emang aku sakit apa Dok?”, tanya Echa. Merekapun berbincang-bincang.
Setelah beberapa saat di rumah sakit, Echa mengajak Ega untuk pulang. Ia tidak mau dirawat di rumah sakit.
* * *
Sampai di rumah, mama dan papanya sudah menunggu Echa di ruang tamu.
“Tidak biasanya mereka pulang cepat dan tidak ribut lagi seperti biasanya. Ya Tuhan, terimakasih Engkau telah membukakan hati buat mama dan papaku”, Echa berpikir mungkin mereka telah sadar dengan kesalahan mereka masing-masing.
“Cha. . .!”, tiba-tiba mama memanggil dengan suara lesu.
“Ada apa ma?”, Echa menjawab dengan penasaran.
“Sini sayang, mama ingin memberitahumu sesuatu. Mungkin ini akan sulit bagimu, tapi mungkin inilah yang terbaik”, kata mama Echa.
Echa pun mendekati mama dan papanya. Echa melihat sepertinya ada sesuatu yang terjadi, tapi mudah-mudahan apa yang disampaikan mama nanti adalah kabar gembira.
“Cha. . . mama dan papa hari ini telah resmi bercerai, mama harap kamu mengerti”, kata mamanya.
“Iya Cha, papa harap kamu memahami apa yang terjadi, kami akan selalu menyayangimu. Kamu berhak memilih ingin tinggal bersama siapa”, kata papa Echa.
“Hah? Apa? Mama dan papa bercerai? Apa kalian tidak tahu perasaan Echa?”, Echa sangat kecewa dengan keputusan mereka. Setelah Echa melontarkan sedikit perasaannya, Echa berlari menuju kamarnya dengan berlinang air mata. Ia menumpahkan kesedihannya dengan menangis di kamar.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Echa ingin menceritakan apa yang terjadi kepada sahabatnya, Rena. Echa menghubungi Rena berulang kali, tapi hpnya tidak aktif. Akhirnya Echa menelpon Ega, orang yang juga sangat berarti dalam hidupnya selain Rena.
“Ya Tuhan. . . mengapa kak Ega juga tidak dapat dihubungi? Apakah segala penderitaanku ini cukup kusimpan dalam hati saja? Apakah tidak boleh satu orangpun yang tahu apa yang kurasakan? Mungkin ini yang terbaik”, Echa berpikir dalam hatinya.
* * *
Akhirnya pagi datang kembali. Echa sangat lelah tadi malam. Entah mengapa, padahal ia semalem tidak melakukan aktivitas apapun selain meratapi nasibnya. Ia juga belum memutuskan mau tinggal bersama siapa. Menurut Echa, hidup dengan mereka berdua sama saja, karena mereka berdua sama-sama egois. Kalau boleh memilih, Echa lebih memilih untuk mencari kehidupan lain yang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
Seperti biasa, Echa berangkat sekolah. Sampai di kelas tak seperti biasanya, Echa tak melihat wajah sahabatnya itu, padahal tasnya sudah berada di kelas. Pagi itu Echa ingin sekali ketemu Rena. Ia ingin bercerita kepada Rena tentang apa yang terjadi. Tapi Echa juga tidak mau jika sahabatnya ikut sedih, paling tidak jika Echa melihat Rena, kesedihannya berkurang karena ia merasa masih ada orang yang peduli dan menyayanginya. Echa bertanya kepada temannya mengenai keberadaan sahabatnya, tapi tak seorangpun teman yang mengetahui keberadaan Rena. Kemudian Echa pergi ke luar kelas untuk mencari Rena. Sampai di pojok sekolah dekat kantin, Echa melihat Rena bersama seseorang yang sepertinya ia kenal. Sepertinya mereka berdua sangat mesra. Echa mendekati mereka dengan penuh penasaran. Echa mendengar sedikit apa yang mereka bicarakan.
“Ren, aku sayang banget sama kamu”,
Echa pun semakin penasaran dengan orang yang bersama sahabatnya itu.
“Dia pacarnya Rena apa ya, kok Rena nggak bilang kalo dia sudah punya pacar”, bisik Echa. Echa semakin mendekat, dan terdengar jelas siapa laki-laki itu.
“Aku juga sayang banget sama kakak, tapi bagaimana dengan Echa? Lebih baik kakak bilang ke dia tentang semua ini, daripada dia berharap terus sama kakak”,
“Iya, kakak juga sudah berniat mutus dia, tinggal tunggu waktu yang tepat aja”,
“Oh iya, nanti malam kakak bisa keluar ke tempat kemarin nggak? Tempat itu bagus banget lho kak!”,
“Ya udah ntar malam kita ke sana lagi, OK?”, kata laki-laki itu.
“Ya ampuun. . . ternyata laki-laki itu kak Ega”, kata Echa dalam hati.
Hati Echa sangat kecewa mendengar pembicaraan mereka. Pantas tadi malam mereka berdua nggak bisa dihubungi, ternyata mereka sedang asyik pacaran. Echa tak menyangka, orang yang Echa percaya ternyata mengkhianatinya. Orang yang selama ini Echa sayang ternyata menduakan dengan sahabatnya sendiri. Lebih-lebih mereka berniat untuk menyingkirkan Echa.
“Ya Tuhan. . . berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua cobaan ini. Aku tidak tahu  harus mengadu dengan siapa lagi, hanya kepadamu Tuhan. Sahabat dan kelasihku tega meninggalkanku, bahkan orangtuakupun tidak peduli dengan keadaanku. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk hidup sendiri”, Echa meratapi nasibnya.
* * *
Sepulang sekolah, Echa menyusuri tempat keramaian. Terpikir dalam benaknya mengapa ia tak bisa merasakan apa yang mereka rasa, mengapa ia merasa sepi padahal berada di dalam keramaian. Ia berpikir mungkin dengan ia meninggalkan dunia ini segala kesepian yang dirasakan akan berakhir dan pasti tidak ada
seorangpun yang akan menangisi kepergiannya.
“Ya, aku harus pergi dari dunia ini, mungkin ini yang terbaik karena tak ada lagi orang yang peduli denganku, lagian kata dokter kemarin, umurku kan tinggal menghitung hari? buat apa aku hidup? Iya di situ”, Echa menunjuk sungai yang berada di depannya. “Mungkin di sungai itu aku dapat mengakhiri kesepianku”. Lalu Echa berjalan mendekati sungai yang cukup besar itu. Ia menaiki pembatas sungai lalu ingin melompat. Tapi tiba-tiba ia sadar, apa yang ia lakukan itu salah, apa yang ia lakukan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Echa pun turun dari pembatas sungai dan berjalan menuju rumah sambil menagis. Saat ia menyeberang jalan, tiba-tiba ada truk lewat dengan kecepatan tinggi dan akhirnya truk itu menabrak Echa hingga ia tak mampu menguasai dirinya. Tubuh Echa lemah tak berdaya dan darahpun keluar seolah mata air yang keluar dari sumbernya.
“Mama, papa, Rena, kak Ega, mungkin inilah jalan takdirku. Maafkan Echa jika Echa pernah menyakiti kalian. Tapi Echa senang karena Echa dipersilakan untuk pergi dari duna ini. Akhirnya Echa mencapai garis akhir kehidupan yang selama ini Echa cari dengan penuh liku. Terimakasih kalian sudah pernah membuat Echa tersenyum walau akhirnya semua itu hilang. Allahu Akbar!”.
Setelah Echa mengucapkan kata terakhirnya, mata Echa tertutup dan pergi meninggalkan dunia ini.  
* * *
Setelah mendengar berita kalau Echa kecelakaan, orangtua Echa segera ke Rumah Sakit Melati. Tak lupa orangtua Echa mengabari Rena dan  Ega. Sesampainya di rumah sakit, Rena dan Ega melihat kedua orangtua Echa menangisi satu tubuh yang tertutupi kain putih bersih. Mereka langsung menuju ruangan itu.
“Tante, ini siapa?”, tanya Rena dengan rasa takut.
“Rena. . . “, kata mama Echa sambil memeluknya dalam keadaan menangis.
“Tan, ini bukan Echa kan?”, tanya Ega dengan wajah pucat.
Orang tua Echa tak berkata apapun. Dia hanya menangis dan terus menangis. Dengan rasa penasaran Ega membuka kain putih yang menutupi tubuh itu.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. . .”, kata Ega sambil memejamkan mata menahan air matanya membasahi wajah pucat itu.
“Ga, ini bukan Echa kan?”, tanya Rena sambil meneteskan air matanya.
Ega hanya diam sambil menahan kesedihannya.
Setelah dimandikan dan dikafani, jenazah Echa langsung dibawa ke rumah duka untuk disholatkan. Semua teman sekolah Echa datang untuk melayat. Pada saat semua teman berkumpul untuk mendoakan Echa, Rena dan Ega tidak ada. Mereka malah berada di taman dan sepertinya mereka sedang membicarakan suatu hal.
“Kak, aku merasa bersalah dengan Echa. Sampai akhir hidupnya , aku sama sekali belum membuatnya bahagia, malah aku berniat untuk mengambil kamu dari dia”.
“Aku juga merasa bersalah kepadanya, aku menyesal dengan apa yang aku lakukan. Kita membohonginya, kita menyakitinya”.
“Rena, Ega, ada yang mau mbok kasih tau ke kalian”, tiba-tiba mbok Inah datang dan mengajak mereka masuk.
“Apa itu mbok?”, tanya Rena.
“Barangnya ada di sana, ayo ikut mbok ke kamar Echa”.
Rena semakin bersalah melihat foto-fotonya bersama Echa yang terpajang rapi. Mbok Inah menunjuk satu buku yang cantik di atas buffet.
“Lhoh itu kan buku diary Echa mbok?”, tanya Rena.
“Iya, itu memang buku diary Echa. Ada yang mau mbok kasih tau ke kalian, tapi. . . . mending kalian baca sendiri aja, mbok keluar dulu.
Rena mulai membaca, lembar awal-awal foto-foto bersama keluarganya, Rena, dan Ega. Lembar berikutnya berisi curahan hati Echa. Rena semakin merasa bersalah setelah membaca buku itu dan tangisnya tak tertahan sehingga dia menjatuhkan buku itu.
“Rena, kamu kenapa?”, tanya Ega heran.
“Kamu baca aja sendiri. . . “, kata Rena sambil menangis.
25 April 2012
Diary. . .
Aku seneng banget hari ini, kamu tahu kenapa? Karena hari ini aku menemukan dua kebahagiaan. Disaat aku bosan dengan keributan orangtuaku, aku menyadari kalau aku masih punya orang-orang yang menyayangiku. Rena, dia adalah sahabatku, aku sangat menyayanginya, dia selalu membantuku dalam keadaan apapun, dia selalu membuatku bahagia. Aku sangat menyayanginya. Terimakasih ya Ren, kamu telah mau jadi sahabatku.
Kak Ega, dia adalah pangeranku. Dia sangat baik dan tidak pernah menyakitiku.  Terimakasih ya kak, telah mau jadi bagian dari hidupku.
Aku benar-benar bersyukur memiliki mereka berdua.
5 Mei 2012
Diary. . .
Hari ini aku sedih! Ternyata selama ini aku menderita penyakit leukemia. Maaf ya ma, pa, Ren, kak,  aku harus bohong sama kalian, aku nggak mau kalian ikut sedih.
Thanks ya kak, kamu tadi telah mengantarkanku ke rumah sakit, mungkin kalau kakak tidak mengantarkanku ke sana aku tidak akan tahu penyakitku selama ini. Walaupun umurku nggak panjang lagi, tapi aku tetap akan menghadapinya kok. Aku sayang kakak!
Ega kaget dan lemas membaca diary itu. Mereka tak menyangka kalau Echa selama ini menderita leukemia. Rena juga semakin bersalah karena telah mengkhianatinya. Padahal Echa sangat mempercayainya.
Sebentar lagi jenazah Echa akan dimakamkan. Orangtua Echa sangat terpukul dengan semua ini. Sebelum jenazahnya dimakamkan, mamanya berbicara sebentar kepada Echa.
“Cha, mama minta maaf yaa. Mama tahu kamu kecewa dengan mama, selama ini kamu nggak pernah mama perhatiin, sampai-sampai mama nggak tahu kalo kamu punya penyakit itu. Sekarang kamu akan menyusul kakakmu, Jeni. Mama sangat menyesal Cha”, kata mamanya sambil menangis dan memeluk keranda yang berisi jenazah Echa.
“Sudah ma. Jangan menangisi Echa. Semua ini sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Dia juga akan sedih jika kita terus menangisinya, biarkan Echa pergi dengan tenang”, kata papa Echa.
Isak tangis teman-teman Echa mengiringi perjalanan pemakaman Echa. Rena dan Ega turut dalam pemakaman Echa dan masih sangat merasa bersalah. Saat Echa dimakamkan, tiba-tiba Rena tak sadarkan diri.
= The End =